Rabu, 27 Mei 2020

Persimpangan Jalan.


Suatu sore, pada saat sedang pulang ke Indonesia untuk memperpanjang Visa (tahun 1990, bulannya lupa), saya tiba-tiba rindu sekali kepada Oma (nenek).

Tanpa menunggu, saya segera mengenakan Baju (jikalau di rumah kebiasaan telanjang dada alias "Ote-ote"), mengambil kunci Mobil dan berangkat ke rumah Tante (bibi) yang menjadi tempat tinggal Oma saat itu.

Sesampai di rumah Tante, saya langsung masuk ke dalam dan memanggil serta mencari Oma.

Terdengar suara Oma dari arah Dapur dan saya langsung menuju kesana.

Di Dapur, Oma melihat saya dan berkata sambil bertanya, "Oalaa Alet (Alet adalah panggilan khas dari Oma, sejak saya masih kecil dan cadel), dari mana?".

“Dari rumah, Oma”, jawabku.

“Ada apa, Ayo?”, sambung Oma bertanya kepada saya.

"Ngga (tidak), cuma kangen (rindu) sama Oma tok (saja) kok!", jawab saya.

"Oo iya, Biar. Tunggu sebentar ya, Oma bereskan ini dulu", lanjutnya.

Saya orangnya memang spontan dan memiliki kebiasaan untuk tidak menunda hal-hal yang baik lagi positif yang keluar dari hati nurani. Serta saya suka mengamati orang lain, sambil berpikir.

Dan tatkala mengamati sambil berpikir tentang Oma yang pada saat itu sedang sibuk membersihkan Dapur, saya menawarkan diri untuk membantu Beliau. 

Tetapi Beliau menolak dan mengatakan bahwa aktivitasnya sudah hampir selesai, sekaligus menyuruh saya duduk sambil menunggunya.

Saya menerapkan penerapan pindah ke ruang tamu untuk duduk dan menunggu (karena khawatir mengganggu aktivitasnya), sambil menyalakan sebatang Rokok serta berpikir tentang Beliau.

Pada waktu kakak-kakak dan saya masih kecil, Oma tinggal bersama kami. Namun setelah kami sudah agak besar dan Tante memiliki anak (bayi), Oma pindah ke rumahnya. 

Oma saya merupakan wanita yang cerdas, bijaksana, sabar, tidak suka mengeluh dan sangat mencintai anak-anak serta cucu-cucunya. 

Beliau seorang Ibu, sekaligus Nenek yang sungguh-sungguh memperhatikan dan memahami kami semuanya.

Semenjak kecil, saya kagum kepada Beliau. Bukannya hanya karena kecantikan dan kebaikannya semata, tetapi lebih disebabkan oleh pengalaman hidup serta percampuran darah (keturunan) yang ada di dalam tubuhnya.

Beliau memiliki percampuran darah yang sangat unik (menurut pendapat saya), yang jarang sekali dimiliki oleh orang lain. Namun demikian, Oma selalu rendah hati kepada siapa pun.

Disaat saya sedang asyik berpikir, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dan kata yang lembut dari Beliau, "Selesai Let, ada apa?".

"Hehehe, ngga (tidak) ada apa-apa Oma. Oma sehat?", jawab dan tanya saya kepada Beliau.

"Sehat Let, tapi ya sehatnya orang yang telah renta", jawabnya.

"Iya, Oma. Sing (yang) penting selalu sehat, meskipun sudah tua", lanjut saya.

Kemudian saya bertanya kepada Beliau, "Oma, kenapa dulu pada saat Tentara Jepang masuk tidak mau pindah ke Negeri Belanda?".

Saat itu Negeri Belanda dikuasai oleh Hitler (Jerman) dan aku ini orang Solo, Let. Papanya Oma masih hidup di Solo, bukannya di Belanda. Dan sejak umur 7 tahun (1929), setelah Opaku meninggal, aku tinggal di Jakarta menemani Omaku, Nyi A. Inem van (dari) Banten. Jadi, buat apa saya pindah ke Negeri Belanda?", jawab Beliau sambil bertanya kembali kepada saya.

“Loh, Papanya Oma masih hidup toh? Mengapa Oma tidak kembali ke Solo atau Jakarta lagi?”, tanya saya yang bertanya kembali kepada Beliau.

"Papanya Oma mempunyai beberapa Istri dan aku juga sudah menikah pula, jadi ngga (tidak) enak rasanya jika kembali ke Solo lagi. Serta Omanya Oma di Jakarta telah meninggal saat aku berusia 12 tahun (1934)", jawabnya.

“Oo, Omanya Oma sudah meninggal dan Papanya Oma mempunyai beberapa istri toh. Papanya Oma, dulu kerja apa?”, tanya saya penasaran.

"Papanya Oma dulu bekerja pada bagian Keuangan di Keraton Solo, namanya Ndoro Nar (Lesnar Poerbokoemo). Iya, istrinya ada beberapa namun aku tidak mengenalnya", jawabnya.

"Oalaa, baru tahu aku, Oma", kataku.

“Jikalau Oma tidak bisa ke Negeri Belanda karena dikuasai Hitler, tidak bisa ke Solo karena sudah menikah, kenapa tidak ikut suami?”, lanjut saya bertanya.

Saya mulai dari sejak kecil, paling suka bertanya (ihwal apapun). Dan apabila penjelasan (menurut saya) masih kurang lengkap, maka akan saya kejar. Bisa dibayangkan, pastinya sangat mengganggu bagi siapa pun yang sedang mendapatkan pertanyaan dari saya.

"Saat itu, suami Oma (Christiaan Jacob van Reesch) sedang bertugas di Perang Dunia II dan markasnya pindah ke Australia", jawabnya.

"Berarti, seharusnya Oma ikut pindah ke Australia", lanjut saya kembali.

“Tidak bisa dibiarkan, karena Mamanya Oma tinggal di Sukabumi dan sedang ditawan oleh Tentara Jepang”, lanjutnya.

"Mamanya Oma dan Oma ini anak tunggal, kita tidak mempunyai saudara lain, Let. Jikalau Oma tidak mencari dan membantu Mamanya Oma, maka dia pastilah bakalan dibunuh oleh Tentara Jepang. Jadi Oma memilih untuk tetap tinggal di Indonesia, untuk mencari dan membantu Mamanya Oma ", sambungnya.

"Oalaa Oma, aku baru tahu. Waduh, sulit sekali ya masalah. Apakah akhirnya berhasil bertemu dan membantu Mamanya Oma? Oma berjuang sendirian?", tanya saya.

"Saat Oma sampai ke Sukabumi, dia sudah pindah ke Bogor. Saat Oma sampai ke Bogor, dia sudah pindah ke Malang. Dan saat Oma sudah sampai di Malang, katanya sudah meninggal tetapi tidak pernah menemukan Makamnya", jawabnya dengan suara yang sedih dan mata yang berkaca-kaca.

"Aku tidak sendirian, Let. Sebab pada jaman keadaannya sangat sangat genting sekali, apalagi untuk orang "Indo" (campuran Belanda) plus wanita seperti aku. Oma dibantu oleh seorang Dokter berkebangsaan Jepang (Yoshida Arata) yang telah kami kenal, sejak pertama kali tinggal di Surabaya”, lanjutnya.

“Waduh Oma, aku ngga (tidak) bisa membayangkan betapa kalutnya Oma dan mengerikannya keadaan pada saat itu”, kata saya kepada Beliau.

"Jaman tersebut sangat sangat mengerikan sekali, Let. Banyak orang yang dipenggal, dibelah, diperkosa, dibunuh dan dirampok", timpalnya

Kami berdua melamun bersama, walaupun lamunannya jelas berbeda, antara saya dan Oma.

Sesudah itu saya lebih lanjut bertanya, "Setelah Jepang pergi dan Perang Dunia II usai, mengapa Oma tidak pindah ke Australia maupun ke Negeri Belanda? 'Kan ada kesempatan lagi, Oma?".

"Let, pada saat Oma pergi mencari Mamanya Oma di Sukabumi, Bogor dan Malang tersebut agar tidak ada kesulitan di dalam perjalanan, aku dengan Dokter berkebangsaan Jepang ini mengaku sebagai pasangan suami-istri. Lama-kelamaan, kami berdua takut diketahui oleh Kempeitai, sehingga akhirnya menikah asli". 

"Dan karena sudah menikah asli serta dikaruniai dua orang anak dari Dokter berkebangsaan Jepang, maka aku wajib bercerai dengan suami yang pertama (Belanda). Dua anakku darinya dibawa pindah ke Australia dan aku tinggal di Surabaya dengan dua anakku dari Dokter berkebangsaan Jepang ini". 

"Aku tidak pindah ke Negeri Belanda, karena aku orang Indonesia. Disana aku tidak mempunyai siapa-siapa dan memiliki apa-apa. Disinilah tanah airku dan Papaku-pun masih hidup, sekaligus ada keluarga meskipun jauh, serta banyak warisan peninggalan yang wajib diurus" , jelas Oma panjang-lebar kepada saya.

Saya dengar, penjelasannya masuk akal dan lengkap.

Lalu saya kembali pertanyaan yang sebelumnya kepada Beliau, yang bagi saya masih kurang jelas penjelasannya, "Jikalau begitu seandainya Oma kembali ke Solo ataupun Jakarta lagi, pastinya Oma lebih terjamin dan berkelimpahan hidupnya, daripada tetap tinggal di Surabaya. Sebab di sana ada Papanya Oma maupun keluarganya besar yang lain. Kenapa Oma masih mau tetap tinggal di Surabaya dan membesarkan dua anak sendirian?".

Oma saya menjawab, "Biarkan, di dalam hidup ini, suatu saat kamu akan menemukan persimpangan jalan. Yang satu, jalan kekayaan dan satu lagi, jalan kebahagiaan. Ketika kamu memilih jalan kekayaan, kecil kemungkinannya bisa bahagia. Namun jikalau kamu memilih jalan kebahagian , kemungkinan besarnya bisa kaya. Lantaran kaya itu karena jiwamu, bukannya hartamu. Dan Oma dulu memilih jalan kebahagiaan, bukannya jalan kekayaan. Ternyata pilihan Oma, benar!".

Saya mengangguk-angguk tanda setuju dan tidak terasa air mata telah menetes ke dagu.

Hari itu saya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berharga, yang hingga saat ini menjadi pegangan utama dalam memilih, tatkala menemukan persimpangan jalan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Omaku tercinta, RA Deedee (Didi) binti Lesnar Poerbokoesomo / Deetje Jacoba de Nijs. Doa yang paling terbaik dan kerinduan yang sangat mendalam dari kami semuanya di "Sana". Aamiin.

Charles E. Tumbel.

--- Ide dan kreatifitas seseorang adalah hak milik yang tidak boleh ditiru/digandakan. Dilarang mengcopy artikel ini. Terima kasih. ---