Jumat, 15 Februari 2019

Sebuah Pelajaran Yang Mahal.

Dari semenjak kecil saya paling tidak suka iri, dengki, bersaing, membedakan, membandingkan dan mengurusi orang lain, begitu pula dengan sebaliknya. Namun saya adalah anak kecil yang amat sangat peka dan bisa mengamati segala sesuatu dengan sangat baik.

Selalu fokus dengan segala sesuatu hal yang sedang saya lakukan dan kerjakan. Tanpa pernah menengok ke kiri dan ke kanan serta akan tetap terus berusaha meskipun harus dengan cara merangkak ataupun diam sejenak, bahkan mengulanginya lagi dari awal.

Saya bukanlah termasuk tipe orang yang ambisius, apalagi yang mudah terobsesi terhadap sesuatu hal apapun. Tetapi saya tidak akan pernah berhenti berjuang untuk mewujudkan segala sesuatu hal yang sudah saya cita-citakan dan tetapkan sejak dari awal.

Alm. Ayah saya tercinta dulu hanya mantan Pejuang Kemerdekaan R.I. berpangkat rendah yang cuma bekerja sebagai Pengajar sekaligus Pelatih (Instruktur) di TNI. Meskipun Almarhum tidak memiliki Pangkat dan Jabatan yang tinggi, tetapi kami tidak kekurangan.

Kami hidup berkecukupan, namun tidak bermewahan. Selain bekerja sebagai Pengajar sekaligus Pelatih (Instruktur) di TNI, Almarhum mengabdi kepada salah seorang Tokoh Nasional di Jakarta. 1 minggu sebanyak 2 kali Almarhum pulang untuk mengajar dan melatih.

Saya katakan mengabdi, oleh sebab Almarhum bukan sebagai pegawai / karyawan disana. Tetapi kebetulan karena sama-sama penganut Kejawen maka Almarhum mencurahkan seluruh jiwa, pikiran dan tenaga untuk sesuatu hal yang tidak bisa saya ceritakan disini.

Akhir tahun '60 sampai pertengahan tahun '80-an, Almarhum beserta para sahabatnya yang berjumlah 11 orang dulu itu dijuluki sebagai "Pasukan Pertapa". Berkat pengabdiannya inilah akhirnya Almarhum bisa mengenal dan dekat dengan beberapa "Orang Penting".

Oleh sebab Almarhum lebih banyak tinggal di Jakarta dan melakukan "Perjalanan" keliling Tanah Air, maka kami sekeluarga amat sangat jarang bisa berjumpa. Kami bersama Ibu tinggal di Kota Surabaya dan cuma melalui telpon bisa berhubungan dengannya.

Saat itu baik Jakarta maupun Surabaya tidak sepadat dan semacet sekarang. Walaupun di Jakarta dan Surabaya (terutama Jakarta) sudah banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi serta penuh dengan kendaraan bermotor, namun belum sehebat seperti saat ini.

Surabaya itu sedikit di bawah Jakarta. Tetapi hidup di Surabaya jauh lebih nyaman daripada di Jakarta. Cara dan gaya hidup di Surabaya lebih santai daripada di Jakarta. Serta orang di Surabaya lebih kompak, setia kawan dan bersatu daripada orang di Jakarta.

Kota Surabaya pada tahun '80-an amat sangat ramah dan menyenangkan. Penduduknya saling mengenal dan berbaur. Tidak ada jarak pemisah dan kesenjangan. Semuanya sama-sama merasa sebagai "Arek Suroboyo" yang ceria dan selalu bergotong-royong.

Tidak ada perbedaan apapun, apalagi yang berlatar-belakang SARA. Sebab semuanya merasa sebagai bagian dari "Kota Pahlawan". Kota yang menjadi pelopor di dalam melawan dan mengusir Tentara Sekutu yang dibonceng oleh NICA yang datang untuk menjajah lagi.

Kota Surabaya adalah kota yang tertata rapi dan sebagian besar penduduknya hidup sejahtera. Ada yang bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, Guru, Legislatif, Seniman, Pegawai, Wiraswasta dll tetapi semuanya selalu bersatu serta merasa sebagai "Arek Suroboyo" asli.

Tahun '80-an adalah "Jaman Keemasan" bagi penduduk Kota Surabaya. Rasa persaudaraan, kebersamaan, nasionalisme, patriotik dan heroik yang masih amat sangat tinggi. Jaman "Cangkrukan" dan bercengkerama bersama-sama, tanpa membeda-bedakan.

Tahun '90-an pembangunan semakin pesat dan tempat hiburan di Kota Surabaya kian menjamur, cara dan gaya hidup mulai berubah. Perlahan-lahan tradisi "Cangkrukan" di rumah teman, pinggir jalan atau kampung mulai bergeser ke tempat-tempat hiburan malam.

Cara dan gaya hidup yang tadinya kasual, berubah glamor serta menjadi ajang pamer kekayaan. Seiring dengan hal ini, peredaran Narkotika dari Luar Negeri semarak bertebaran dimana-mana dan seolah-olah menjadi tren di hampir semua golongan masyarakat.

Hal seperti ini terus berlangsung sampai sekitar tahun 2010. Cara dan gaya hidup yang berubah serta maraknya Narkotika, membuat "Arek Suroboyo" kehilangan jati diri. Rasa persaudaraan, kebersamaan, nasionalisme, patriotik dan heroik menjadi hilang.

Itulah sedikit cerita tentang diri saya, orang tua dan Kota Surabaya. Sekarang saya ingin sedikit menceritakan tentang hal-hal yang menurut saya pribadi amat sangat memprihatinkan serta yang menjadi pemicu dari menurunnya jiwa yang berkebangsaan pada saat ini.

Pada saat masih kecil, saya gemar sekali memperhatikan keluarga dari para teman dan sahabat serta cara mereka dibesarkan. Saya sendiri tidak mengerti kenapa, namun mungkin itu bagian dari rasa simpati dan empati saya kepada para teman serta sahabat.

Dari hal-hal yang saya perhatikan pada saat itu, saya mendapatkan 3 wawasan, yaitu : 1. Ada anak yang dididik oleh orang tuanya dengan ketat. 2. Ada anak yang dididik oleh orang tuanya dengan longgar. 3. Ada anak yang dididik oleh orang tuanya dengan manja.

Dari 3 wawasan itu, saya mendapatkan 3 wawasan lagi. 1. Yang dididik dengan ketat kebanyakan orang tuanya Guru, Pegawai dan Wiraswasta. 2. Yang dididik dengan longgar kebanyakan orang tuanya TNI, POLRI dan Seniman. 3. Yang dididik dengan manja kebanyakan orang tuanya PNS, Legislatif dll terutama yang jabatannya tinggi.

Tanpa disadari atau secara kebetulan ternyata perhatian saya kepada para teman dan sahabat terutama tentang cara mereka dibesarkan dulu itu, pada saat ini menjadi wawasan berharga khususnya untuk mencari jalan keluar dari menurunnya jiwa yang berkebangsaan.

Mereka yang dulunya dididik dengan ketat, banyak yang menjadi orang penting. Mereka yang dulunya dididik dengan longgar, banyak yang menjadi orang kreatif. Mereka yang dulunya dididik dengan manja, banyak yang menjadi orang frustasi bahkan pecundang.

Memang wawasan ini tidak 100% benar atau pasti begitu, tetapi kebanyakan atau 60% kenyataannya begitu. Meskipun kenyataan yang saya sampaikan ini, tentunya amat sangat terbatas dan cuma berdasarkan pada wawasan dari lingkungan saya sendiri belaka.

Pertanyaannya, kenapa mereka bisa sampai begitu? Ternyata karena yang dulunya dididik dengan ketat besarnya menjadi tertib dan disiplin, yang dulunya dididik dengan longgar besarnya menjadi mandiri dan berpengalaman serta yang dulunya dididik dengan manja besarnya menjadi tergantung dan pemalas.

Yang tertib dan disiplin sudah pasti baik, begitu pula dengan yang mandiri dan berpengalaman. Tetapi yang tergantung dan pemalas inilah yang pada saat ini menjadi biang masalah. Mereka kebanyakan benci dengan keadaan dan sulit sekali menerima kenyataan.

Bagaimana pada saat ini mereka tidak benci dengan keadaan dan sulit sekali menerima kenyataan, dari kecil sudah dibiasakan dengan "Diberikan Ikan" dan hidupnya penuh dengan fasilitas serta kesenangan. Apapun yang diinginkan selalu tercapai, karena Anak Pejabat.

Dengan pensiunnya orang tua mereka dari jabatannya dan kemudian meninggal dunia, tentunya segala kemudahan yang pernah didapatkan itupun juga akhirnya ikut menghilang pula. Harta kekayaan yang tadinya berlimpah-ruah, perlahan-lahan menjadi berkurang.

Hidup yang tadinya serasa mudah dan bisa bermewah-mewahan, lambat-laut serasa sulit serta mau ataupun tidak mau harus berhemat. Hal-hal yang tadinya sama sekali tidak pernah terpikirkan apalagi diharapkan, mendadak harus dihadapi dan butuh penyelesaian.

Karena dari semenjak kecil dididik dengan manja sampai menjadi tergantung dan pemalas, akhirnya tidak memiliki kemampuan sekaligus kekuatan untuk menyelesaikan permasalahan. Untuk berubahpun, sudah tidak memiliki keberanian dan kesanggupan lagi.

Mereka cuma bisa menyalahkan keadaan dan menaruh dendam pada jaman. Padahal sumber masalahnya bukan pada keadaan apalagi jaman, tetapi pada diri mereka sendiri. Namun karena dari semenjak kecil dididik dengan manja maka sulit untuk mengakui kekurangan.

Jangankan untuk mengakui kekurangan, untuk melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa sesungguhnya mereka telah membuat bodoh dirinya sendiri saja, tidak mampu untuk dilakukan. Mereka sudah terlalu putus asa dan harapan untuk memperbaiki masa depannya.

Manifestasi dari segala hal yang mereka alami dan rasakan inilah yang sekarang membuat banyak terjadi fitnah, ujaran kebencian, hoax, radikalisme serta menurunnya jiwa yang berkebangsaan. Mereka melampiaskannya untuk mengurangi penderitaannya.

Padahal penderitaan mereka ini hanya bisa diselesaikan oleh dirinya sendiri belaka. Dengan menerima kenyataan, introspeksi diri, banyak berbuat kebaikan serta melakukan perbaikan dan perubahan diri secara mendasar demi masa depan yang lebih gilang-gemilang.

Tanpa mau untuk melakukan itu maka mereka pasti akan semakin terjerumus dan tidak tahu lagi cara untuk kembali berpikir sehat. Cara berpikir tidak sehat akan mendatangkan penyakit. Penyakit itu akan membutuhkan pengobatan dan pengobatan memerlukan biaya besar.

Biaya besar pasti akan menguras harta kekayaannya yang sudah jelas semakin berkurang, ini bagaikan lingkaran setan. Lingkaran setan yang berawal dari cara berpikir tidak sehat ini harus bisa lekas dihentikan oleh dirinya sendiri. Tanpa itu, nantinya hidupnya pasti akan sengsara.

Sengsara di hari tua itu adalah hal yang paling ditakutkan oleh semua orang. Sebab di masa tua, kita sudah tidak lagi memiliki tenaga, baik untuk berpikir maupun bekerja. Sehingga membuat nasib menjadi lebih baik adalah keputusan yang paling terbaik, sebelum terlambat.

Mungkin saya dulu termasuk anak yang dididik dengan manja. Namun saya berjuang untuk membuat nasib menjadi lebih baik. Karena saya tidak ingin sengsara di hari tua, hidup sia-sia dan penuh penyesalan. Memang tidak semudah "Membalikkan Tangan", tetapi selama kita berusaha maka pasti akan diberikan jalan.

Saya menceritakan hal ini bukan untuk menyalahkan apalagi menjatuhkan siapapun. Tetapi untuk menjadi sebuah Pelajaran yang mahal yang bisa dipetik hikmahnya demi kebaikan bersama. Serta untuk memahami kenapa jiwa yang berkebangsaan pada saat ini menurun.

Semoga tujuan saya menceritakan hal ini bisa tercapai serta terjadi perbaikan juga perubahan yang lebih baik pada Bangsa dan Negara kita yang tercinta. Terima kasih karena telah berkenan untuk membaca tulisan saya ini dan mudah-mudahan ada manfaatnya. Aamiin.

Charles E. Tumbel.

--- Ide dan kreatifitas seseorang adalah hak milik yang tidak boleh ditiru / digandakan. Dilarang mengcopy artikel ini. Terima kasih. ---