Jumat, 30 Juni 2023

Sebuah Pelarian.

Ada seorang Pria Tua (sekitar 80 tahunan), yang hidup di sebuah Desa (sengaja tidak disebutkan). Masyarakat di sekitarnya, biasa memanggilnya dengan nama "Pak Amin" (bukan nama sebenarnya).

Pak Amin terkenal terlalu religius (kita tidak membahas agamanya), yang senang mengaitkan apapun dengan keyakinannya dan selalu aktif pada setiap kegiatan, plus mengurusi orang di sekitarnya.

Lantaran memang sudah renta, suatu ketika Pak Amin meninggal dunia. Masyarakat di sekitarnya datang berbondong-bondong ke rumahnya, untuk memakamkannya pada pekuburan setempat.

Setelah jasadnya dimakamkan dan seluruh keluarga besar beserta masyarakat sekitar meninggalkannya sendirian di dalam sebuah Kotak Kayu, (roh) Pak Amin terbangun dan melihat 2 buah Lorong.

Lorong sebelah kiri, gelap gulita dan lorong sebelah kanan, terang benderang. Serta di depan setiap Lorong tersebut, terdapat 1 orang Penjaga. Dia berpikir sejenak, lantas menyadari dan bangkit berdiri.

Dengan percaya diri, Pak Amin (yang tinggal rohnya) berjalan ke arah lorong sebelah kanan. Dia yakin tempatnya adalah di sana. Karena menurutnya, di saat masih hidup senantiasa baik dan benar.

Tepat beberapa langkah sebelum memasuki lorong, Si Penjaga menghentikannya dan berkata, "Pak Tua, tempatmu bukanlah di sini. Tetapi di sana!" sambil menunjuk lorong yang gelap gulita.

Pak Amin terkejut dan dengan nada yang ketus berkata kepada Si Penjaga, "Apa? Di sana? Di lorong gelap gulita? Kau tidak tahu siapa aku dan apa yang pernah kuperbuat di sepanjang hidupku!".

Si Penjaga menjawab, "Pak Tua, sebab aku tahu siapa dirimu dan apa yang telah engkau kerjakan di sepanjang hidupmu, makanya kukatakan bahwa tempatmu bukanlah di sini, namun di sana!".

Pak Amin murka, dengan suara yang lantang dia berkata, "Tidak masuk akal! Siapakah dirimu yang sebenarnya? Betapa beraninya engkau menyuruhku ke sana, padahal jelas di sinilah tempatku!".

Si Penjaga dengan tenang menjawab, "Aku-lah Penjaga Lorong ini dan yang berhak untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak memasukinya, sesuai dengan Perintah Suci dari Paduka Tuanku".

Lanjutnya, "Semasa hidup dirimu rajin beribadah tetapi bukan lantaran cinta, kasih, sayang, menghormati dan menghargai Paduka Tuanku, apalagi tulus serta ikhlas. Namun karena takut dan pamrih".

"Engkau membayangkan Paduka Tuanku, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sebagai pemarah dan penghukum. Sehingga ibadahmu didasari ketakutan, terutama takut tidak diberi pahala".

"Dirimu memuja dan memuji Paduka Tuanku, Yang Maha Pemurah, bukannya atas dasar kesadaran akan Keagungan serta Keluhuran dari DiriNya. Melainkan oleh sebab ingin mendapatkan sesuatu".

Sambungnya, "Engkau tidak pernah sungguh-sungguh pasrah dan bersyukur KepadaNya. Malahan melulu mencari kambing hitam dengan membenci, mencaci, mencela, dan menyalahkan orang lain".

"Dirimu sombong dengan selalu merasa baik dan benar, padahal hanya Paduka Tuanku belaka yang senantiasa Maha Baik lagi Maha Benar. Serta cuma Dia saja yang Maha Mengetahui ihwal Kesahihan".

"Segala ibadahmu dulu bukanlah UntukNya, Sang Maha Bijaksana. Tetapi sebuah Pelarian dari kurangnya iman dan ketawakalan kepada Yang Maha Menentukan. Sekarang masuklah ke sana!", pungkasnya.

Nasi sudah menjadi bubur dan tubuh telah berada di dalam liang kubur. Waktu sudah terhenti dan berjuta-juta penyesalan tidak bakalan merubah yang telah terjadi, serta dosa pastilah ditanggung sendiri.

Pak Amin seketika gemetar dan menangis sejadi-jadinya. Serasa mau pingsan, namun tubuhnya sudah tidak ada lagi. Akhirnya dengan terpaksa, dia berjalan lunglai menuju ke lorong yang gelap gulita.

Semoga cerita ini bermanfaat dan bisa diambil hikmahnya. Serta mudah-mudahan kita semuanya menjadi mahluk yang mampu berpikir secara mendalam, sesuai dengan kodratnya, Aamiin. Terima kasih.

Charles E. Tumbel.

--- Ide dan kreatifitas seseorang adalah hak milik yang tidak boleh ditiru / digandakan. Dilarang mengcopy artikel ini. Terima kasih. ---